> Hidup penuh dengan jejak kaki. Demikian sejarah pernah bertutur
pada manusia. Sayangnya, logika dan kata-kata manusia tidak dan tidak
akan pernah bisa memotret jejak-jejak kaki tadi sebagaimana adanya.
>
> Logika dan kata-kata, di satu sisi memang jembatannya pemahaman, di
lain sisi ia juga suka memperkosa. Karena pemerkosaan jenis terakhir
inilah, kemudian pengetahuan manusia manapun jadi tidak sempurna. Di
tangan manusia-manusia yang digiring kepintaran,ketidaksempurnaan
terakhir kemudian menjadi bahan wacana.
>
> Ada juga yang membuatnya sebagai sarana tawar menawar kepentingan,
alat untuk melakukan penyerangan, bahan-bahan untuk memamerkan
kehebatan. Ada yang bertanya, tidakkah ini hanya bunga-bunga
kehidupan yang membuat semuanya jadi kaya warna?
>
> Di tangan manusia-manusia bijaksana nasib ketidaksempurnaan
pengetahuan manusia lain lagi. Bagi mereka, ketidaksempurnaan ada
untuk mengajarkan kesempurnaan pada manusia. Ada juga yang
menyebutkan, kalau hidup ditujukan justru untuk melengkapi sisi-sisi
pemahaman yang belum sempurna.
>
> Bagi pejalan-pejalan kaki di jalan jiwa lain lagi.
Ketidaksempurnaan ada untuk menjadi lahan-lahan latihan jiwa.
Bukankah setelah tertabrak berbagai karang kehidupan, jatuh dalam
banyak jurang kehidupan, kemudian jiwa bisa pulang dengan tenang?
>
> Ah entahlah, pejalan-pejalan kaki di jalan kejernihan memang hanya
boleh bertanya. Jawaban memang senantiasa diserahkan kepada mereka
yang mendengar ketika pertanyaan dilontarkan. Tidak semua suka tentu
saja. Dan itupun tidak apa-apa. Yang jelas, apapun pertanyaannya,
apapun jawabannya, siapapun yang bertanya, siapapun yang menjawab,
ada sebuah gejala yang terus menerus berjalan : waktu! Seperti jarum
jam di dinding, berjalan, berjalan dan berjalan.
>
> Kadang ia berhenti karena baterainya mati, hanya waktu yang ia
wakili tidak membutuhkan baterai dan tenaga manapun. Ia adalah tenaga
itu sendiri, ia adalah gerakan itu sendiri, ia adalah hidup itu
sendiri.
>
> Sebagai manusia biasa, kita kerap baru tersadar, kadang malah
terkejut, ketika melihat putera-puteri di rumah sudah besar. Tatkala
merasakan badan tidak lagi sekuat dulu. Mana kala melihat orang-orang
yang lebih muda dipanggil yang kuasa. Logika dan kata-kata
manusiapun memberikan judul: tua. Dan judul terakhirpun tidak sama
pemahamannya. Ada yang mengkaitkannya dengan badan yang berbau tanah.
Ada yang menyebutnya dengan masa-masa panen dalam hidup. Ada juga
yang meletakkannya sebagai waktu membalas dendam perhatian ke anak
cucu.
>
> Dan tentu saja, terserah sepenuhnya pada pribadi masing-masing.
Yang jelas, ada yang mengkaitkan umur tua dengan perlambang alam yang
bernama matahari. Bagi yang melihat beban kehidupan sebagai
serangkaian hal yang memberatkan, tua adalah tanda-tanda matahari mau
tenggelam. Bagi sahabat yang melihat beban sebagai vitamin-vitamin
yang memperkuat, tua adalah awal terbitnya matahari di dalam diri.
Ada yang bertanya, matahari apa yang terbit di dalam diri?
>
> Inilah keterbatasan pemahaman melalui kata-kata dan logika.
Pertama, semua hal ditanyakan dan mau dipahami dulu, baru kemudian
bergerak dan berjalan untuk menggali. Seolah-olah tanpa bertanya dan
paham manusia akan masuk jurang. Kedua, setiap pencaharian yang boros
logika dan kata-kata, membuat pencaharian berjalan keluar. Kemudian
mengabaikan sumur tanpa dasar yang ada di dalam. Ketiga, begitu
sebuah pemahaman terpetakan oleh logika dan kata-kata, manusia
terpental jauh dari dirinya sendiri.
> Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, ada seorang sahabat pernah
berbisik. Kadang, ada saatnya perjalanan pemahaman mirip dengan
seorang anak yang baru bisa belajar bicara, kemudian bertanya pada
mamanya: mana papa? Dan begitu telunjuk mama menunjuk ke seorang
lelaki, setiap bayi langsung mempercayainya. Dan seumur hidup
menyebut lelaki tadi dengan sebutan papa. Jarang sekali terjadi ?
atau mungkin malah tidak pernah ? begitu mamanya menunjuk seorang
lelaki, kemudian anak bertanya ulang : itu papa atau teman selingkuh?
>
>
> Bagi sahabat yang diperkuda kepintaran, mungkin cara seperti ini
disebut dengan kebodohan dan ketololan. Cuman pada kehidupan manapun
yang menyelami lapisan-lapisan keihklasan secara mengagumkan, dan
kemudian berpelukan dengan kehidupan secara penuh penerimaan, inilah
awal terbitnya matahari di dalam diri.
>
> Tak ada pertanyaan di sana, apa lagi penolakan. Sebutan pintar dan
hebat tak lagi menggoda. Kaya dan terkemuka, juga serupa. Diberi
terimakasih, tidak diberi juga terimakasih. Seorang pejalan kaki di
jalan ini pernah berucap, ketika penafsiran kita tentang semesta
berhenti, kejernihan yang mendalam jadi terbuka. Kejernihan itu
meliputi segala waktu, tempat dan perubahan.
>
> Pejalan kaki yang lain berucap pelan, pelepasan adalah jantung
kehidupan. Tatkala manusia sudah terlepas dari harapan, pendapat dan
apalagi ketakutan, ia memasuki wilayah-wilayah kebebasan yang
berkelimpahan. Dalam bahasa lain, ada yang berbisik, seluruh hidup
adalah proses pelepasan. Ketika manusia mengalami pelepasan, bukahkah
muncul great sun of wisdom dari dalam dirinya? Ada juga yang ragu-
ragu dan bertanya, apa yang tersisa dalam kehidupan pasca pelepasan ?
>
> Yang tersisa di sana hanya satu: kerja, kerja dan kerja. Bedanya
dengan kerja orang kebanyakan, bukankah kerja adalah bentuk cinta
yang paling nyata? Bukankah melalui kerja Tuhan menjadi nyata?
>
No comments:
Post a Comment