Foto profil untuk Ari Yanto
Ari Yanto
pemimpi dgn secangkir pengetahuan dan segambréng pengalamanPenulis punya 547 jawaban dan 4,9 jt tayangan jawabanDiperbarui 6 Mar
Saya minta ijin menjawab. Agak panjang jawabannya. Jawaban pendeknya, arguably YES. Well terlalu tinggi mungkin enggag, tapi cukup / agak tinggi lah yah….
Sebenarnya, membandingkan UMR antar negara untuk melihat mana yang lebih tinggi / rendah merupakan hal yang cukup bahkan sangat sulit, karena tidak bisa langsung dikalikan dengan kurs begitu saja. Kebetulan saya pernah menetap di Jepun cukup lama, jadi akan saya gunakan Jepun sebagai perbandingan.
Sebagai contoh, UMR tertinggi di Indonesia (Bekasi?) adalah Rp 4,8 juta. UMR di Aichi (Jepun) adalah JP¥ 955 per jam. Dengan kata lain, untuk jam kerja standar (5 hari seminggu, 8 jam sehari) maka akan didapat JP¥ 168.080 yang dengan kurs Rp 130 / JP¥ akan menjadi Rp 21,8 juta. Secara hitungan sederhana, UMR Jepun (Aichi Prefecture) itu 4,5 kali lipatnya UMR Indonesia tertinggi.
Yaaaa, kalau mau beli mobil misalkan Toyota Yaris, dari website sih harga yang model barunya itu Rp 240 juta (50 bulan gaji) ; sedangkan Toyota VitZ (tidak ada Toyota Yaris di Jepun) harganya sekitar JP¥ 1,4 juta (8,3 bulan gaji). Mau ke SetarBak juga harga caffe mocha (varian favorit saya) adalah Rp 50 ribu, yang artinya UMR tadi setara dengan 96 gelas kopi. Di Jepun, harga caffe mocha adalah JP¥ 440, sehingga UMR Jepun itu ekivalen dengan 382 gelas kopi. Jadi, memang UMR di Indonesia itu terlalu murah…… Benarkah demikian?
Yah kalau anda menghitung demikian, ya jadi kacau balau lah….. SetarBak itu untuk golongan elit, lah kalau penghasilan UMR ya jangan berharap ketinggian. Sebenarnya, UMR itu apa sih? Iya, Upah Minimum Regional. Ada kata MINIMUM di situ. Minimum itu artinya apa? Ya, supaya anda bisa hidup sampai bulan berikutnya, sampai terima gaji lagi. Ya sesimpel itu. Karenanya, kalau gaji UMR ya jangan berharap banyak dengan uang itu.
Maksud saya begini, UMR itu kan tadi dihitung agar mencukupi pengeluaran dengan gaya hidup minimalis. Dan, minum kopi di SetarBak itu bukan gaya hidup minimalis, itu borjuis namanya. Maksud saya begini. Gaji UMR itu masih bebas pajak loh. 12 bulan × Rp 4,8 juta = Rp 57,6 juta ; sedangkan PTKP Rp 58,5 juta untuk single tanpa tanggungan. Di Jepun, gaji UMR segitu masih harus dikurangi pajak macem2, yang nilainya bisa mencapai 10 - 12% untuk level UMR. UMR Jepun sebesar JP¥ 168 ribu dipotong 10% sisa JP¥ 151.200. Ingat, UMR itu DIHITUNG untuk memenuhi kebutuhan minimum….!!! Makan-minum minimalis…..
Harga makanan (mie ayam) termurah di tempat saya (Jakarta pinggiran) yang termurah itu adalah Rp 10 ribu. UMR Rp 4,8 juta itu setara 480 mangkok mie ayam. Di Jepun, harga mie ramen yang termurah itu JP¥ 320. Kalau gaji UMR JP¥ 151.200 (after tax) dibeliin mie ramen seharga JP¥ 320, bisa dapat sekitar 472 mangkok mie. Lihat kan, hasilnya hampir sama kan???
jangan kuatir, itu foto dari internet, bukan foto pacar saya….
Mau coba apa lagi? Bacang??? Jangan berpikir bacang seharga Rp 25 ribu sebiji, itu mah beda. Bacang di pasar di tempat saya itu sebiji 3000 perak. Bacang yang penting kenyang. Ada bacang yang lebih murah, tapi rasanya parah. Gaji UMR Rp 4,8 juta kalau dibelikan bacang bisa dapat 1600 bacang. Di Jepun tidak ada bacang, adanya onigiri. Harga onigiri termurah itu JP¥ 108 (JP¥ 100 plus pajak). Jadi, UMR Jepun setara dengan 1400 onigiri. Oleh karenanya, saya bisa bilang bahwa UMR Indonesia itu cukup tinggi, jika diukur dengan 'kebutuhan minimum'.
Masalah ini masih belum saya perluas. Karena 'kebutuhan minimum' manusia itu adalah untuk makan, dan di dalam makanan ada yang namanya nilai kalori. Kalori diperlukan sebagai sumber energi untuk beraktivitas.
Ya anda hitung saja sendiri. Gaji UMR Indonesia itu jika dibelikan makanan bacang akan menghasilkan kalori 52% lebih banyak (1600 × 270 Calorie VS 1400 × 203 Calorie) dibanding dengan orang Jepun membeli onigiri dengan gaji UMR-nya. Dan jangan lupa, di Jepun ada musim dingin, jadi sebetulnya orang Jepun lebih membutuhkan kalori daripada orang Indonesia. Dalam konteks 'pemenuhan kebutuhan minimum' yang dinyatakan dalam 'kalori ekivalen', di Indonesia sudah lebih dihargai, sebenarnya.
>>>>>>>
Namun, ya untuk menentukan apakah UMR Indonesia termasuk tinggi atau rendah ya tidak bisa pakai bacang VS onigiri lah, begitulah akan ada saja yang protes. Nah, sebenarnya untuk membandingkan UMR mana yang lebih tinggi, di Ilmu Ekonomi ada teori yang lumayan kontroversial, namanya adalah PPP (Purchasing Power Parity) yang jika diterjemahkan menjadi 'Daya Beli Ekivalen' (??). Sekarang mari kita periksa kembali data yang kita miliki. UMR Jepun itu JP¥ 151.200 yang dengan kurs Rp 130 / JP¥ menjadi Rp 19,66 juta. indeks PPP Jepun adalah 41.053, sehingga jika UMR Jepun dibagi PPP akan menghasilkan skor 478,8. UMR tertinggi Indonesia adalah Rp 4,8 juta dan indeks PPP Indonesia adalah 12.073. Jika UMR ini dibagi PPP akan didapat skor 397,6. Jadi, skor UMR Jepun itu memang sekitar 20% lebih tinggi daripada Indonesia. Jadi, hitungan ini sebenarnya bisa dijadikan alasan untuk minta kenaikkan UMR 20%…… benarkah begitu??
Tidak sesederhana itu, Fergusso….!!! Anda terima gaji karena anda berkontribusi 'mendatangkan profit' (BUKAN pemasukan) untuk perusahaan…… Seorang komisaris perusahaan bergaji Rp 300 juta kerjanya ongkang-ongkang kaki, tetapi bisa menaikkan laba perusahaan Rp 20 M sebulan, maka rasio kontribusi terhadap gajinya adalah 67 kali lipat….!!! Seorang sales mobil mendapatkan komisi Rp 10 juta setiap menjual 1 unit mobil, yang mana 1 unit mobil menghasilkan profit Rp 70 juta ke daeler, maka rasio kontribusinya adalah 7 kali lipat…….
Pekerja konveksi di Korea Utara mampu memproduksi 3 - 5 lembar baju per jam. Anggaplah 25 lembar pakaian per hari, 550 lembar per bulan. Waktu olimpiade kemaren, baju produk Korut dibeli dengan harga sekitar $ 12 - 15 per lembarnya (dan dijual di Jepun dengan harga jauh lebih mahal) ; menghasilkan keuntungan sekitar $ 8 per lembar bagi pabriknya di Korea Utara sana. Dikalikan dengan 550 lembar, setiap pekerja konveksi di KorUt berkontribusi $ 440 sebulan, dan mereka mendapatkan gaji hanya $ 20 - 25 sebulan. Rasio kontribusi mereka 20 kali lipat. dan banyak orang Korut lainnya yang penghasilannya hanya Rp 50 ribu (US$ 3) sebulan….
Bagaimana rasio kontribusi orang Jepun dibandingkan orang Indonesia? Ambil contoh untuk level swalayan semacam UlfaMart atau IndiaMart itu lah yah…… Saya perhatikan, untuk luas dan kesibukan yang hampir sama, jumlah karyawan di Jepun itu bisa setengahnya jumlah karyawan di Indonesia. Sehingga, asumsi dengan jumlah output yang sama, hitungan kasarnya adalah orang Jepun itu kira-kira 70% lebih produktif daripada orang Indonesia. Artinya, ya UMR Indonesia itu mahal…..!!! Belum lagi orang Indonesia itu susah diatur, sering kerja semaunya sendiri, K3 diabaikan dengan alasan ah biasanya juga gapapa…. begitu kecelakaan, perusahaan yang disalahkan…..
Viral Bos Perusahaan Ngamuk dan Banting Ponsel Karyawan karena Sibuk Selfie dan Main TikTok - Tribun-medan.com
Seorang bos perusahaan membanting ponsel milik karyawan karena sibuk selfie dan main TikTok saat jam kerja.
https://medan.tribunnews.com/2020/03/03/viral-bos-perusahaan-ngamuk-dan-banting-ponsel-karyawan-karena-sibuk-selfie-dan-main-tiktok
bijimane mau produktif dan berkontribusi, gaji mau gede tapi kerjanya main hape…
Dibandingkan dengan Vietnam, saya bisa bilang bahwa UMR Vietnam itu lebih murah untuk kontribusi yang sama. Perusahaan asing banyak yang tetap buka pabrik di Indonesia karena mereka hitung-hitungan, di sini market-nya besar…. karena orangnya konsumtif bin hedon semua. Kalau bikin pabrik di Vietnam, UMR murah tapi konsumen terbatas. Mau jual ke Indonesia, harus bayar biaya shipping belum lagi pajak impor, dihitung-hitung masih lebih baik menjalankan pabrik di Indonesia. Kalau buruh demo minta naik gaji? Ya gapapa, mereka bisa pakai robot.
Saya sadar, walau saya menjelaskan dengan cara apapun, akan ada yang bilang bahwa UMR Indonesia itu rendah. Yaaaa, sebenarnya sih yah ini masalah supply-demand saja. Begitu banyak orang yang tidak memiliki keahlian khusus yang menonjol, sehingga ya otomatis 'nilainya' jatuh. Kalau mau dihargai lebih, ya kuasailah ilmu yang jarang dikuasai orang lain, kalau bisa sampai ke level maestro. Tak perlu berdemo menuntut naik gaji, pekerjaan yang akan mencari anda, koq…..
Kalau gajinya masih UMR, ya jangan ke SetarBak. Terlalu mahal untuk gaji UMR. Saya saja di Indonesia hanya 3 kali ke SetarBak. Sisanya, cukup kopi Golda saja. Sisa uangnya, buat tambah ilmu…..
Ohya, kalau ada yang tidak setuju ya gapapa, toh saya cuman orang sotoy, bukan ahli ekonomi.
Edit (tambahan) :
Mungkin akan ada beberapa informasi yang harus diluruskan, ditambahkan, dan diklarifikasi.
(1.) Dasar perhitungan UMR itu adalah untuk individual, jadi jika untuk menghidupi anak, istri, istri kedua dan ketiga, orangtua, kucing, dll ya engga bakalan cukup.
(2.) Masalah utama penerima UMR adalah tempat tinggal dan transportasi. Di Jakarta dan sekitarnya, tempat tinggal dan transportasi memang besar. Lalu, mengapa di Jateng, Jogja, dan lokasi lainnya UMRnya lebih rendah? Ya ini karena asumsi orang yang bekerja di sana bisa berangkat dari rumah sendiri (rumah orangtua / saudara), entahlah. Saya bukan anggota dewan penentu kebijakan, jadi hanya bisa mengira-ngira.
Lalu kenapa harga rumah di daerah juga naik? Nah ini agak out of topic, tapi intinya karena para pemilik modal ingin agar uangnya lebih banyak, ya jadinya mereka akan berinvestasi. Dengan uang terbatas, salah satu pilihannya adalah dengan berinvestasi di daerah, di mana harga tanah / rumah masih murah. Yasudah, sesimpel itu. Orang di Jakarta atau yang punya uang banyak, beli rumah di daerah untuk 'investasi'. Orang bule beli rumah dan properti di Bali. Pengusaha RRC, pangeran Arab, Raja Thai dll. mengamankan aset dengan beli properti di USA dan EU (Eropa), ya akibatnya rumah juga naik. Tak melulu berhubungan dengan UMR.
(3.) Pada prinsipnya, tenaga kerja terdiri dari 3 golongan : trained labor (terlatih), skilled labor (terdidik), dan untrained labor (tidak terlatih & terdidik). Insinyur, dokter, pengacara, ahli finance, ahli actuarial dll. adalah contoh trained labor. Pilot, polisi, tentara, physiotherapist, ahli chiropractic, ahli herbal dan dukun patah tulang (??) dll. adalah contoh skilled labor. Buruh tani, kuli panggul, dll. merupakan contoh untrained labor. Buruh pabrik bisa merupakan trained atau untrained labor tergantung jenis pekerjaannya. SMK seharusnya menghasilkan lulusan berjenis trained labor.
(4.) Sebagian masyarakat Indonesia memiliki budaya over-spending (hedon). Dari jaman saya SD, ketika Presiden mengumumkan kenaikan gaji pokok ABRI, guru dan PNS, langsung keesokan harinya harga-harga langsung naik. INFLASI. Padahal kenaikan gajinya baru berlaku bulan depannya alias gajinya masih belum diterima, eh sudah inflasi. Mereka yang termasuk untrained labor memiliki kecenderungan (jadi, tidak semua) untuk memiliki financial literacy dan perencanaan masa depan yang rendah. Artinya, digaji berapapun ya tetap saja kurang. Karena dipakai untuk belanja ini-itu. Saya punya teman guru inter, dulu gajinya hampir Rp 30 juta. Ada juga pilot BUMN itu tuh, gaji Rp 80 juta…. selalu mengeluh gaji kurang.
Ya gaji berapapun kalau mentalnya engga bener ya susah. Tahunya hanya menuntut. Kalau dikabulkan, dipakai hedon. Akibatnya, ya inflasi. UMR Zimbabwe itu btw seribu lima ratus trilyun dolar loh… itu kalau angkanya ditulis, jadi $ 1.500.000.000.000.000 (gatau deh bener apa kagak nulis NOLnya).
ya UMR mereka itu hanya 15 lembar uang kertas….
Apakah mereka kaya? Enggag. Zimbabwe itu negara kedua termiskin di dunia. Itupun karena ada negara baru bernama South Sudan yang baru saja merdeka (engga baru-baru amat, sih…). Kalau buruh mau gaji besar, silahkan saja. Alternatif pertama, hiperinflasi… uang akan kehilangan daya belinya. Skenario kedua, perusahaan asing (PMA) kabur. Hitung-hitungan lah…… mereka (pemodal) adalah pihak yang punya duit. Punya duit itu berarti punya pilihan. Pindahin pabrik, atau jual semua aset lalu jadi trader juga lebih enak, bisa jadi whale trader.
Ada kok beberapa contoh pabrik yang didemo naik gaji, tapi langsung tutup dan pindah overnight (biasanya pas weekend). Pas hari Senin, pabriknya kosong. Mesin produksi udah gag ada. Meja kursi komputer udah engga ada. Bahkan bola lampu sampai mesin pompa air aja sempet2nya dicopotin. Pas buruh dateng, bener2 gag ada apa2. Kucing aja engga ada. Lalu, mau apa? Mau gebukin direkturnya? Bisa aja, tapi harus nyamperin dulu sana ke Vietnam, Malay, atau entah ke mana, baru gebukin deh itu direktur. Sanggup beli tiketnya? Mau bakar pabrik? Silahkan, bakar aja kalau bisa bikin puas. Dan kejadian pabrik tutup karena didemo kayak gini itu engga cuman sekali.
(5.) Tidak semua buruh suka demo. Beberapa bahkan tidak ingin demo. Tapi dipaksa oleh sarikat buruh. Ada juga ormas bahkan LSM yang koar2 'menggoreng isu' gaji buruh, padahal ujung2nya 'minta setoran' ke buruh dengan alasan 'kan gaji lu udah kita perjuangin, jadi gaji lu naik…..'. Mereka ini tak lebih dari MAFIA. Berkedok memperjuangkan gaji, akhirnya UMR naik Rp 200 ribu. Eh, setiap buruh dikutip iuran (diperas) Rp 75 ribu seorang. Itung aja, satu pabrik bisa ada serebu sampai dua rebu buruh. Kalikan itu Rp 75 ribu dengan 20 ribu buruh yang dipalak, udah dapet Rp 1,5 M sebulan….. itu untung bersih loh….. pabrik yang menghasilkan untung bersih (BUKAN omzet) Rp 1,5 M sebulan (Rp 50 juta sehari…!!!) itu hanya pabrik otomotif atau elektronik, atau pabrik besar macam PT PMA (Penanaman Modal Asing).
(6.) Masih banyak buruh yang bekerja dengan gaji di bawah UMR. Terutama buruh sektor informal. Pabrik tahu, mebel, batako, kuli panggul, buruh tani, tukang kupas bawang, tukang somay (yang jualan dagangannya 'si bos'), dll. Mau protes apa daya, karena unskilled labor. Lagipula, ya namanya orang butuh duit. Plus, bosnya juga bukan orang-orang kaya banget. Lah kalau ini, harusnya pemerintah ikut campur tangan lah….. Gimana caranya, agak panjang untuk dijabarkan, ini aja udah OOT (out of topic) sebenernya.
(7.) Di luar negeri, Jerman atau Jepun misalnya, mau jadi tukang pipa aja ada 'sekolah'nya. Mau bawa forklift harus ada SIMnya. Untuk dapat SIM harus belajar. Operator forklift 20 ton gaboleh bawa forklift 50 ton. Di Indonesia, cuma ditanya lu bisa bawa forklift engga? Kalo bisa besok lu masuk kerja deh…. Nah, masalahnya, di Indonesia gag akan ada yang peduli sama SIM forklift. Orang SIM motor / mobil aja pada nembak. Lah iyalah, kalo ujian SIM beneran, Valentino Rossi aja belum tentu lulus ujian SIM C di Indonesia. Nah ini, kesalahan SISTEM. Akibatnya skilled labor engga dihargai. Semua mendewakan skill akademik. Padahal engga bener juga pola pikir ini.
(8.) Banyak lulusan S1 yang harus menerima nasib bekerja dengan gaji UMR atau lebih rendah. Belum lagi cari kerja malah kena tipu. Atau, ujung-ujungnya jadi sales di FUTURES, disuruh cari nasabah yang mau nyetor sekian puluh juta, eh begitu dapet ternyata perusahaannya yang tukang tipu. Sedih banget.
(9.) Beberapa pekerjaan itu bisa menghasilkan penghasilan di atas UMR bahkan untuk unskilled labor dan bahkan tidak memandang fisik dan usia. Contohnya, baby sitter untuk orang2 kaya yang kebanyakan duit. Waktu saya masih di sekolah inter, saya kadang bingung itu anak2 murid cewek koq pada diikutin sama nanny-nya (baby sitter), padahal udah SMA. Jawabannya, iya sensei (murid2 saya panggil saya sensei) soalnya waktu udah gede, mau dipecat tapi kasiyan…. Gajinya? Rp 8 jutaan, plus trip ke luar negeri (ngikut anak majikan) setahun sekali.
dalem hati, anjay, ane aje deh yang gantiin jadi bebi sitter-nye…..
(10.) Muak dengan gaji UMR? Naikin skill….!!!! Satu, skill Bahasa Inggris. Dua, skill komputer. Tiga, skill dan tatacara menulis (menulis email, WA, menginformasikan invoice / tagihan, dll.). Skill ketiga ini engga diajarin di sekolah. Skill kedua, engga harus belajar kodang-koding segala. Belajar nyalain komputer aja deh, terus masuk Internet gimana, cara manfaatin search engine gimana, cara pake MS Office gimana. Empat, belajar skill khusus. Lima, harus dapat berhemat dan kalau bisa mencari peluang buat tambah income non-gaji. Ambil contoh, gaji pertama saya itu Rp 200 ribu doang (jelas di bawah UMR), tapi penghasilan tambahan bisa di atas Rp 650 ribu. Kalau sudah banyak tabungannya, baru belajar investasi.
Atau bisa juga belajar skill baru, yang berpotensi menambah penghasilan. Skill apa aja deh…….. skill menulis bisa, bikin video-editing boleh, fotografi boleh, ilustrasi boleh, apa saja. Saya ambil contoh, Filipina. Filipin memiliki tingkat penguasaan Bahasa Inggris terbaik setelah Singapore untuk Asia Tenggara, terlepas dari logatnya yah….. Dampaknya? Mereka buka jasa outsource untuk web administrator. Misalnya, ada yang lapor kalau video di Youtube atau foto di Facebook itu mengandung pornografi, misalnya. Nah, laporan ini harus ditindaklanjuti. Dilihat isinya. Ya orang-orang Pinoy yang melototin / mengecek laporan2 itu. Atau, bisa juga melakukan kegiatan pembukuan (akutansi) bagi perusahaan2 di Mamarika sana. Bagi kapitalis, gaji mereka murah. Bagi Pinoy, dapetnya besar. India juga gitu, banyak yang mengerjakan kerjaan outsourcing tapi lebih segmented ke sektor IT. Indonesia juga bisa begitu, kalau mau usaha sedikit.
>>>>>>>>
Bagi yang berpikir kalau tulisan saya membela kaum kapitalis / pengusaha, sebenarnya engga juga. Justru saya menuliskan ini secara lugas. Memang yang dijadikan contoh adalah UMR Bekasi, yang notabene lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Tentu ini akan menyakitkan hati pembaca di daerah lainnya. Tetapi, kembali lagi, jika memiliki skill khusus yang banyak dicari, ya pendapatannya pelan2 akan naik. Saya pribadi juga bukan orang kaya. Masa kecil saya juga suram. Tapi ya, saya coba mengubah nasib. Terima kasih telah menyikapi tulisan saya secara bijak. Mungkin, bisa baca juga tulisan saya yang lain di sini :
Jawaban Ari Yanto untuk Mengapa kita harus kaya?
Udah ah, tambahannya segini aja. Terima kasih bagi yang bersedia membaca sampai akhir. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan atau pemilihan kata yang tidak berkenan.
No comments:
Post a Comment